oleh : KH Yusuf Mansur
Duhai orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertaqwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al Hasyr (59):18).
Muhasabah (evaluasi diri) itu penting, sebab manusia adalah gudang kesalahan dan khilaf. Seperti bunyi pepatah: Al Insaan mahalul khatha’ wan nisyaan (Manusia tempatnya salah dan lupa). Sedang hadits menyebutkan: ‘’Setiap anak Adam pernah berbuat salah, dan sebaik-baik yang bersalah adalah yang bertobat dari kesalahannya’’ (HR At Tirmidzi no 2499).
Dengan muhasabah, kita bisa tahu apa yang sudah kita capai, apa yang belum. Apa saja yang menjadi kebaikan sehingga bisa ditambah kebaikannya, dan apa yang menjadi kelemahan sehingga bisa diperkuat. Evaluasi bisa memberi kita gambaran kekurangan kita agar bisa digenepin.
Evaluasi ini biasa dilakukan di semua lini. Kita bisa belajar evaluasi itu di perusahaan. Ada namanya evaluasi akhir tahun. Di situ direview semua, mulai bagian marketing, administrasi, hukum, SDM kepegawaian hingga kemudian ditetapkan target-target awal hingga akhir untuk tahun yang akan datang.
ila kita melakukan di perusahaan, tentu ada yang jauh lebih membutuhkan evaluasi ini. Yakni diri kita.Menghitung diri lebih penting. Sebab, masing-masing kita akan dihisab nanti di akhirat.
Mari kita evaluasi diri kita. Pertama adalah dari sisi niat. Niatnya karena apa? Banyak orang menyamakan antara niat dan doa. Misal, orang sedekah kepengen banget agar anaknya sembuh. Masak ini gak boleh.
Buruk sangkanya, orang sedekah yang begitu niatnya gak ikhlas. Kalau sedekah dibilang sedekah aja, nanti sembuh urusan Allah. Beda ini, kalau wilayahnya kepengen, ini wilayah doa, bukan niat. Sedekah tetap karena Allah, doanya ingin anaknya sembuh.
Kepengenan anak sembuh, ini sama kedudukannya dengan yang lain, seperti naik gaji, kaya, naik pangkat. Apapun judulnya asal dari Allah, itu keinginan dalam wujud doa.
Kalau bab niat yang salah, misalnya begini, sedekah agar dilihat orang ya jadi salah. Ada unsur riya, sum'ah yang diperdengarkan amal-amalnya ke orang. Kalau amal niatnya karena posisi, dia mata manusia lebih salah lagi. Misal orang bilang, "Masjid itu gak ada saya gak bakal jadi." Yang seperti itu niatnya perlu dikoreksi.
Selain niat, seorang Muslim mestilah memerhatikan amal saleh itu sendiri. Maksudnya dinilai kebersihan dan kesahihan amalnya. Bercampur apa tidak dengan hal-hal yang dilarang Allah dan Rasul-Nya. Cuma untuk masalah ini, perlu penjelasan dan kearifan yang lebih besar. Kaitannya sama seseorang yang kemudian beramal lalu jatuh ke bid'ah. Banyak yang seperti ini harus banyak didiskusikan lagi. Harus duduk bareng dibicarakan dan ditelaah lagi. Maksudnya agar seseorang tidak jatuh dalam bid'ah, sekaligus agar tidak gampang pula membid'ahkan.
Kualitas dan kuantitas amal dua-duanya harus dievaluasi. Dalam kualitas amal, ada tidak value (nilai ibadah) yang didapat. Kualitas bacaan Alquran-nya bagaimana. Dicek tuh alif, ba' sampai ya' ya. Dibenerin mahrajnya, tajwidnya. Belum bagaimana maknanya, tadaburnya sejauh apa. Semuanya diperhatikan.
Kuantitas juga penting sebagai indikator kemajuan kualitas keberagamaan kita. Sepanjang tahun sudah shalat Dhuha berapa kali, setiap shalat berapa rakaat, nanti tahun depan harus ditambahi. Ditanya soal baca Alquran ini. Berapa ayat sehari dibaca? Oh ternyata baru satu dua ayat, ya ditambahlah tahun depan, satu hingga dua halaman. Syukur-syukur bisa satu juz dalam satu hari.
Misal dengan Metode Magribi (Aljazair, Maroko, Tunisia, dll), para santri setiap harinya harus menulis minimal lima ayat di lauh. Setelah menuliskan, mereka membacanya berulang kali sampai hafal semua. Dalam waktu tiga tahun full-time, santri dapat menghafal 30 juz.